Jumat, 29 Juli 2011

Kisah di Bulan Ramadhan

Kali ini izinkan saya bercerita tentang beberapa peristiwa. Secara singkat, beberapa peristiwa itu adalah, seorang lelaki dipukul di bus, seorang gadis diganggu di jalan, dan seorang perempuan diteriaki oleh preman. Peristiwa-peristiwa itu sudah tentu buruk. Tetapi, di kota metropolitan, tempat segala jenis orang dan segala jenis kepentingan bertemu, semua itu logis terjadi, bukan?

Tetapi, cerita-cerita itu ada detailnya. Siang itu, seorang mahasiswa Indonesia sedang duduk di dalam bus di tengah salah satu kota di Australia yang terkenal modern dan teratur. Beberapa orang pemuda muka pucat tiba-tiba masuk dan bertanya kepadanya, apakah ia orang Indonesia. Ketika dijawabnya, "Ya", tiba-tiba saja sebuah jotosan mendarat di mukanya. Di sore lain, seorang gadis Indonesia tengah berjalan pulang dari tempat studinya. Tiba-tiba seorang pemuda kulit putih menarik kerudung yang dipakainya. Ia pun berusaha menghindar saja.

Mau ditambah satu cerita lagi? Beberapa hari lalu, saya baru pulang dari kampus saya di tengah kota Sydney untuk menghadiri acara buka bersama. Tiba-tiba, seorang lelaki berambut pirang, berotot, dan memegang sebuah botol, menghadang. Dalam bahasa Inggris terkasar, ia berteriak, "Hei, kamu, sialan! Lepas itu penutup rambut sialan itu. Dasar perempuan sialan!" Saya terperanjat dan langsung membela diri, bahwa saya tidak pernah mengganggu dia. Tetapi lelaki itu menyemburkan kalimat ular beludak lagi. Dan saya membalasnya lagi dengan nada tinggi, bahwa saya tidak dan tidak pernah sama sekali mengganggunya.

Dan saya berlalu. Beberapa kali saya ingin berbalik dan menyumpal mulutnya yang terus memuntahkan kata dengan adu argumentasi. Jika ia mulai duluan berkelahi mungkin saya bisa coba juga dia. Jika saya orang sakti maka akan saya mohonkan orang itu untuk segera saja masuk neraka. Bukankah saya sedang teraniaya, dan adalah janji-Nya bahwa tidak ada hijab antara doa orang yang teraniaya dengan Allah. Jadi, doa saya akan makbul, bukan? Ada parang tak kasat mata menakik-nakik ulu hati dan saya tidak tahan lagi. Tetapi, saya hanya berlalu.

Saya ingat seorang profesor asli Australia baru mengadakan barbeque daging halal untuk orang-orang Indonesia beberapa hari sebelum Ramadhan. Staf semua universitas di Sydney pun baru mengadakan pertemuan khusus untuk meyakinkan bahwa adalah salah satu komitmen utama mereka untuk membebaskan mahasiswa dari diskriminasi agama dan ras. Seorang penjual barang-barang bekas yang sungguh berwajah preman dari baju hingga aksen bicara pun pernah berkomentar kepada saya, "Peristiwa bom di Bali itu bisa terjadi di mana saja jika krisis ekonomi sudah merajalela. Itu bukan salahmu, bukan?"

"Apakah harga seorang mabuk yang menyeracau di pinggir jalan dibandingkan dengan harga hubungan baik antarkultur yang telah terbina selama ini, dan terlebih, dibandingkan dengan harga diri kita?" tanya seorang teman yang begitu mencemaskan keselamatan saya.

Haruskah saya berbalik dan melawan orang itu, atau menulis surat kepada konsulat jenderal, atau menghimpun barisan minoritas sakit hati? Jika hubungan antarnegara semakin memanas, di mana saya?

Sempat saya mendoakan agar penganiaya itu sadar. Tetapi, doa itu seperti memeras semua darah di kepala dan jantung. Yang pasti, seorang lelaki preman dan mabuk baru mengantarkan salah satu perang terbesar di dalam diri saya. Semoga perang ini dapat dimenangkan lebih baik lain kali, ketika semua fitnah hanya seringan debu yang segera hilang diterbangkan angin.

Tidak ada komentar: